Pemerintah Indonesia dan pelaku industri batu bara perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan harga Domestic Market Obligation (DMO) batubara, menurut Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo).
Dalam webinar bertema “Mencari Format Harga Batubara yang Berkeadilan” pada Kamis (14/11), para pemangku kepentingan industri batu bara, termasuk pejabat pemerintah dan akademisi, mengemukakan berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini.
Wakil Ketua Umum Aspebindo, Fathul Nugroho menyatakan bahwa Indonesia memiliki peran strategis sebagai negara eksportir batubara terbesar di dunia. Fathul menekankan pentingnya Indonesia untuk lebih berperan dalam menentukan harga batubara global, yang akan memberikan manfaat lebih besar bagi pasar domestik.
“Indonesia bukan hanya konsumen batubara, tetapi juga pemain kunci di pasar global,” ungkap Fathul.
Fathul juga menyoroti pentingnya rencana Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengenai penciptaan indeks harga batu bara nasional. Meskipun harga batubara Indonesia dipengaruhi fluktuasi pasar internasional, keberadaan indeks harga nasional akan memberikan Indonesia kontrol lebih besar atas harga komoditas strategis ini.
Selain itu, Aspebindo mengkritisi kebijakan kenaikan tarif royalti untuk IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang kini mencapai kisaran 3-7% dan sekitar 13%, masing-masing.
Kebijakan untuk industri batu bara dianggap membebani perusahaan kecil dan menengah yang operasionalnya sudah terpengaruh oleh tantangan pasar.
“Kenaikan tarif royalti progresif ini perlu dievaluasi kembali untuk menjaga kelangsungan usaha di sektor ini,” tegas Fathul.
Industri batubara Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan, namun dengan penyesuaian kebijakan yang tepat, sektor ini diharapkan tetap dapat berperan sebagai pilar utama energi domestik dan ekspor.
Demikian informasi seputar industri batu bara. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Wisatahouse.Com.